Proklamator yang namanya selalu bersanding dengan Sukarno bernama Dr.(H.C) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Muhammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Orang tua Mohammad Hatta bernama Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar berasal dari bahasa Arab, yang berarti "harum". Ia merupakan anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang bertahan pasca-Perang Padri. Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Pada saat ia masih berumur tujuh bulan Ayahnya meninggal. Setelah itu ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang, Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat orang anak, yang kesemuanya adalah perempuan.
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta. Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, kemudian melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya. Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.
Kakeknya bermaksud akan ke Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar). Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang memang sudah menurun semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal ini diprotes dan mengusulkan pamannya, Idris untuk menggantikannya. Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.
Sekembalinya ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada 6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen. Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam parlemen Belanda. Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di Indonesia. Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.
Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda pada 25 Februari 1934 dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira. Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak menulis di koran-koran Jakarta, dan ada juga untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan kekuasaan di Pasifik.
Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong. Ia juga merupakan sosok yang peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya memberantas malaria. Apabila ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya diberi gaji f 2.50 saja. Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli terhadap kawannya yang kekurangan.
Di Digul, selain bercocok tanam, ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara tahanan tersebut, ada beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis. Pada masa itu, ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang buangan dalam surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke koran Pemandangan di Jakarta dan segera surat itu dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn. Colijn mengecam pemerintah dan segera mengirim residen Ambon untuk menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta menolak dan ia juga meminta supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang hidup dalam pembuangan.
Pada 1937, ia menerima telegram yang mengatakan dia dipindah dari Digul ke Banda Neira. Hatta pindah bersama Syahrir pada bulan Februari di tahun itu, dan mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang cukup besar. Adapun ruangan besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat bekerjanya. Sewaktu di Banda Neira, ia bercocok tanam dan menulis di koran "Sin Tit Po" (dipimpin Lim Koen Hian; bulanan ini berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam Bahasa Belanda. Kemudian, ia menulis di Nationale Commantaren (Komentar Nasional; dipimpin Sam Ratulangi) dan juga, ia menulis di koran Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua tulisan. Hatta juga pernah menerima tawaran Kiai Haji Mas Mansur untuk ke Makassar, dia menolak dengan alasan kalaupun dirinya ke Makassara dia masih berstatus tahanan juga. Waktu itu, sudah ada Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling mengenal.
Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran Pemandangan yang isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, di zaman Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh penguasa Jepang untuk tidak percaya Hatta selama Perang Pasifik. Yang mana, kelak tulisan Hatta dibaca Murase, seorang Wakil Kepala Kenpeitei (dinas intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikuti Nippon Sheisin di Tokyo pada November 1943.
Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat. Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal di masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerjasama dengan Belanda, diikut sertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru. Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepan Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasehat yang menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan rakyat.
Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya namanya menjadi Bandar udara internasional Jakarta, Bandar Udara Soekarno-Hatta. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986/.