Profil Biodata Fanisa Rizkia Korban Tsunami Aceh

Fanisa Rizkia Gadis ABG Korban Tsunami AcehFanisa Rizkia (15) salah satu dari korban tsunami di Aceh 26 Desember 2004 yang kini sudah menjadi gadis ABG. Sepuluh tahun lalu tragedi tsunami yang memporak porandakan kota serambi Mekkah itu. Ribuan nyawa melayang, bangunan serta harta benda tak tersisa dihantam gelombang tsunami yang maha dahsyat. Kejadian itu menyisakan duka mendalam bagi korban yang selamat, mereka harus ikhlas kehilangan keluarga dan harta benda yang dimiliki.

Fanisa berhasil selamat dari amukan tsunami di Aceh, akan tetapi semua keluarganya tewas terhantam gelombang tersebut. Fanisa yang kala itu masih berumur 5 tahun harus rela kehilangan seluruh anggota keluarga. Dia pun sempat dirawat oleh sahabat orangtuanya yakni Sabariah. Nasib malang pun menghampiri Fanisa kembali, Sabariah yang sudah menyayanginya meninggal dunia. Setelah ibu angkatnya itu meninggal, Fanisa tidak ditampung lagi oleh keluarga Sabariah. Akhirnya dia pun hidup sendiri yang kemudian ada yang membawa dan menjualnya ke Malaysia untuk dijadikan TKI.

Menjelang peringatan 10 tahun tsunami Aceh, Pemerintah Aceh berhasil memulangkan seorang anak korban tsunami berusia 15 tahun dari Malaysia. Selama ini di Malaysia dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan juga korban trafficking. Namanya Fanisa Rizkia (15) tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang, Aceh Besar, Jumat (19/12) sekira pukul 08.05 WIB disambut oleh Karo Humas, Pemerintah Aceh, Mahyuzar. Sedangkan yang menjemput Fanisa Rizkia di Malaysia ditugaskan oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah Kepala Dinas Sosial Aceh, Bukhari bersama rombongan.

Fanisa Rizkia dalam konferensi pers di depan awak media mengaku sangat senang bisa kembali ke Aceh. Meskipun dia tidak memiliki lagi keluarga, namun bahagia bisa menginjak kaki kembali di bumi Serambi Mekkah. Fanisa merupakan salah satu dari ribuan korban tsunami Aceh. "Senang bisa kembali ke Aceh, saya tidak mau lagi balik ke Malaysia," kata Fanisa Rizkia di ruang VVIP Bandara SIM, Blang Bintang. Sesekali dia mengusap matanya karena linangan air mata terus mengalir. Sambil sedikit terisak-isak, Fanisa bercerita saat tragedi tsunami di Aceh 26 Desember 2004 barusia 5 tahun.

Didampingi oleh Kepala Dinas Sosial, Bukhari dan Kepala Badan Penanggulan Bencana Aceh (BPBA) Said Rasul, Fanisa beberapa kali terdiam sejenak mengingat-ngingat tragedi 10 tahun silam. Tidak banyak yang dia ingat, saat ditanyakan saat tsunami, Fanisa lebih banyak menggelengkan kepalanya. Namun Fanisa ingat betul pasca tsunami terjadi dan dia selamat dari amukan tsunami, lagi-lagi dia tidak ingat bagaimana bisa selamat. Hal yang dia ingat saat sahabat orang tuanya menjemput setelah satu minggu tsunami terjadi.

Sabariah, wanita inilah yang disebutnya sahabat dekat orang tua Fanisa menjemputnya dan langsung membawanya ke Medan. Lalu Fanisa sempat mengecap pendidikan hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Sedangkan untuk melanjutkan sekolah, Fanisa mengaku tidak lagi bisa melanjutkannya, karena sudah hidup menjadi anak jalanan di Medan. Kisah sedih dirinya menjadi anak jalanan selama 4 tahun lebih ini, bermula Sabariah yang sangat dihormatinya sakit dan pada usianya 10 tahun lebih, ibu angkatnya meninggal dunia.

Setelah menjadi korban gelombang dahsyat tsunami serta meninggalnya Sabariah, Fanisa masih harus menerima kenyataan pahit. Dia tidak diterima oleh keluarga besar Sabariah sehingga harus hidup terlunta-lunta sendiri. Fanisa selama 4 tahun lebih hidup terlatung-latung satu tempat ke tempat lain tanpa tau arah. Dia pun harus terima jadi gelandangan yang tak punya tempat tinggal yang tetap. Untuk memenuhi bisa menyambung hidupnya, Fanisa harus bekerja serabutan. Termasuk pernah bekerja sebagai penjaga warnet.

Ibu Ida menawarkan pekerjaan pada Fanisa yang saat itu sudah tidak memiliki pekerjaan apapun. Ibu Ida menjanjikan pekerjaan sebagai pelayanan restoran di Malaysia. "Ketemu sama ibu Ida dan dia kasih untuk ibu Anisah, lalu saya dijual pada agen Asraf di Malaysia kerja PRT," jelasnya. Fanisa mengaku sebelum ke Malaysia, agennya di Medan memalsukan dokumen dengan memanipulasikan umur sampai 3 tahun lebih tua. Pemalsuan ini dilakukan oleh agen di Medan bernama Anisah.

Sesampai di Malaysia, dia kembali terjebak dalam sebuah kungkungan mafia agen penjualan manusia. Pekerjaan yang dia harapkan menjadi pelayan di restoran orang melayu dan muslim. Sesampainya pada agen Malaysia bernama Asraf, Fanisa dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) selama satu bulan. Meskipun majikannya ini orang India baik, tetapi gaji satu bulan ini semua diambil oleh agen tersebut. "Lalu setelah itu saya dibanting harga 2000 ringgit pada orang lain, saya dijual lagi sampai saya bertemu dengan kedutaan," kenangnya.

Fanisa memiliki saudara kandungnya sebanyak dua orang, nama ibunya yang disapa mama adalah Cut Uti Maryati dan ayahnya Zakaria. Sedangkan abang kandungnya bernama Muhamma Harim. "Tapi nama kakak gak ingat lagi, hanya nama panggilan ingat yaitu Kak Nong," kenangnya. Fanisa mengaku, kedua orang tuanya berasal dari Desa Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Namun lagi-lagi Fanisa mengaku juga tidak mengenal saudaranya di sana. Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Aceh, Bukhari mengatakan, Fanisa ini akan ditampung di panti asuhan untuk sementara. Karena Fanisa tidak satupun mengenal saudaranya baik di Banda Aceh maupun di Lhokseumawe.