Keterbatasan ekonomi tidak harus menjadi penghalang untuk meraih cita-cita setinggi langit. Hal inilah yang dialami peraih IPK tertinggi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Devi Triasari. Devi Triasari memang tergolong dari keluarga tidak mampu.
Mahasiswi lulusan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tersebut berhasil lulus menggondol predikat terbaik dan dengan waktu tercepat. Ya, gadis kelahiran Ngawi 19 Desember 1991 tesebut berhasil meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,99 dalam waktu tiga tahun enam bulan.
"Lulus dari SMKN 1 Ngawi tahun 2010, saya kemudian tidak langsung kuliah karena mengetahui bahwa ayah dan ibu saya tidak mampu membiayai biaya pendidikan lebih tinggi. Saya kemudian bekerja di bagian administrasi sebuah perusahaan kontraktor di Magetan untuk membantu perekonomian keluarga. Ayah saya hanya seorang buruh dan ibu pembantu rumah tangga," tuturnya Jumat (29/5/2015).
Dalam keterbatasan tersebut, Devi mengakui tetap memiliki keinginan besar untuk mengangkat derajat kehidudan keluarganya. "Saya berpikir bahwa untuk merubah kehidupan kami, diperlukan pendidikan lebih tinggi. Dan saya memberanikan diri untuk mencoba-coba mendaftarkan diri untuk mencari kuliah dengan tanpa mengeluarkan biaya. Saya mencoba mendaftar beasiswa Sampoerna dan diterima. Namun akhirnya saya tidak mengambilnya dan mencoba mendaftarkan diri melalui jalur SNMPTN tahun 2011," urainya.
Diceritakan Devi, jalannya menuju lolos SNMPTN tidak terbilang mudah. Apalagi Surakarta merupakan tempat yang baru sekali untuknya. "Saat tiba di Solo, dengan modal nekat saya menjalani tes SNMPTN selama dua hari tanpa persiapan. Dan bahkan saya harus tidur di gudang karena tidak mendapatkan kos di sekitar tempat tes SNMPTN saat itu di SMAN 2 Sukoharjo. Bisa dapat tempat menginap di gudang itupun karena rasa kasihan dari pemilik rumah saat saya ceritakan bahwa saya terpaksa istirahat di masjid saat jeda tes," imbuhnya.
Namun usaha keras tersebut terbayar dengan lolosnya Devi sebagai penerima Bidikmisi tahun 2011. Hanya saja, Devi tidak bisa langsung bernapas lega. Pasalnya, dia harus meninggalkan pekerjaannya demi kuliahnya. "Meninggalkan kerja berarti tidak bisa lagi membantu keuangan orang tua. Kuliah semester satu saya masih bolak-balik Solo-Magetan agar tetap bisa bekerja. Namun akhirnya saya merasa berat. Akhirnya saya putuskan keluar dari pekerjaan dan mencari kerja sambilan di Solo. Apapun saya jalani untuk dapat memberikan bantuan uang ke orang tua karena kuliah dan living cost sudah dibiayai dari Bidikmisi. Saya menjadi guru les, penjual pulsa dan apapun yang bisa menghasilkan uang asalkan halal," ujarnya.
Kini, buah dari kerja keras Devi terbayar dengan prestasi membanggakan dan tawaran beasiswa afirmasi S2 ke Australia. "Saat ini masih saya pertimbangkan. Yang pasti S2 di bidang hukum. Sampai saat ini yang sudah menawarkan adalah dari Monash University dan Newcastle University dari Australia. Saya ingin menjadi dosen untuk mengangkat derajat hidup keluarga saya. Karena saya memang suka mengajar. Dan bahkan orang tua saya baru akan datang ke UNS pertama kalinya saat saya wisuda Juni nanti," cerita putra pasangan Suwito dan Karinem tersebut. (Triawati Prihatsari Purwanto/Joglosemar)