Johannes Baptista Sumarlin (lahir di Nglegok, Blitar, Jawa Timur, 7 Desember 1932; umur 84 tahun) adalah salah seorang ekonom Indonesia yang pernah memegang berbagai jabatan pemerintahan penting di bidang ekonomi. Ia adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1958. Jabatan yang pernah dipegangnya antara lain Ketua BPK, Menteri Keuangan, Ketua Bappenas dan Menag PAN. Pria berperawakan kecil dan selalu memberikan senyuman menyejukkan, ini memainkan peran dan pengabdian sentral pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba), khususnya di bidang perekonomian. Sejak 1970 hingga 1998, dia berperan dalam pusat kebijakan ekonomi dan keuangan. Dia salah seorang arsitek ekonomi Indonesia yang ‘dibesarkan’ Widjojo dan ‘diandalkan’ Pak Harto.
Tahun 1970 hingga 1973, penganut agama Katolik kelahiran Nglegok, Blitar, Jawa Timur, 7 Desember 1932, dengan nama baptis Johannes Baptista Sumarlin, ini sudah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Moneter. Sebelumnya, ia bahkan sudah mengabdi sebagai Deputi Bidang Fiskal dan Moneter Bappenas. Selanjutnya selama sepuluh tahun (1973-1983), Sumarlin menjabat Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (Menpan), merangkap Wakil Ketua Bappenas dan Ketua Opstib. Kemudian, ia menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Menneg PPN) merangkap Ketua Bappenas tahun 1983-1988. Di sela-sela periode itu ia ditunjuk sebagai Menteri Keuangan ad interim dan Menteri Pendidikan & Kebudayaan ad interim, menggantikan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto yang wafat pada 1985.
Pada Kabinet Kabinet Pembangunan V periode 21 Maret 1988-17 Maret 1993, Sumarlin menjabat Menteri Keuangan. Setelah itu, sebelum kejatuhan rejim Orde Baru, Sumarlin dipercaya memimpin lembaga tinggi negara, selaku Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dia salah satu arsitek ekonomi Indonesia bersama para dedengkot ekonomi lainnya, seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim dan Ali Wardhana. Mereka dijuluki sebagai “mafia Barkeley”. Julukan yang muncul karena para penentu dan pengambil keputusan di bidang ekonomi rejim Soeharto itu adalah doktor ekonomi lulusan berbagai universitas dari lingkungan Barkeley, Amerika Serikat.
JB Sumarlin, misalnya, adalah lulusan master bergelar MA (Master of Arts) dari Universitas California, AS tahun 1960, dan lulusan doktor bergelar Ph.D dari Universitas Pittsburg, AS tahun 1968. Untuk gelar doktornya Sumarlin lulus dengan disertasi berjudul Some Aspects of Stabilization Policies and Their Institutional Problems: The Indonesian Case 1950-1960. Sebelum mengabdi di lingkungan pusat kebijakan ekonomi, lulusan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) tahun 1958, ini sejak tahun 1957 sudah menjadi asisten dosen di almamaternya. Kemudian sejak tahun 1965 diangkat menjadi dosen, lalu sebagai guru besar FE-UI tahun 1979. Sumarlin meraih gelar master (MA) dari Universitas California, Berkeley, AS (1960) dan gelar doktor dari Universitas Pittsburg, AS (1968). Sebelumnya, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan industri di Jakarta. Pada masa revolusi fisik, Sumarlin ikut bergerilya sebagai anggota Palang Merah Indonesia, dan sebagai anggota TNI di Jawa Timur. Atas pengabdiannya, ia menerima tanda kehormatan dari pemerintah RI berupa Bintang Mahaputra Adiprana III, 1973. Dua tahun kemudian ia menerima Bintang Grootkruis in de Orde van Leopold II dari pemerintah Belgia. Penggemar olah raga tenis dan jogging, ini menikah dengan Th. Yostiana Soedarmi, dikaruniai empat orang anak.
Tentang perawakannya yang kecil, itu pernah secara unik menjadi bahan perkenalan dirinya dengan Sudharmono, mantan Menteri Sekretaris Negara yang akrab disapa Pak Dhar. Ketika itu, di permulaan tahun 1969 atau awal kebangkitan Orde Baru, Sumarlin selaku Deputi Bidang Fiskal dan Moneter Bappenas diminta mendampingi Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro menghadiri Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, di Istana Negara. Sudharmono saat itu masih sebagai Sekretaris Presidium Kabinet, tugasnya membantu Jenderal Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera. Sudharmono (Pak Dhar), dengan gaya yang serius dan lugas, malah terkesan ‘arogan dan seram’, sambil jarinya menunjuk ke arah Sumarlin, bertanya kepada Widjojo, “Siapa anak kecil yang duduk di belakang kursi Pak Widjojo itu?” Sumarlin lalu langsung diperkenalkan Widjojo ke Pak Dhar. “Oh, ini tenaga yang pernah Pak Widjojo sebutkan tempo hari, yang akan ditarik ke Bappenas,” ujar Pak Dhar lagi, yang dengan nada seenaknya menimpali perkenalan Sumarlin oleh Widjojo.
Memperoleh perlakuan demikian, Sumarlin sempat kaget, merasa bersalah, koq berani-beraninya ikut duduk di belakang Widjojo menghadiri sidang kabinet yang begitu penting bagi negara. Sebab yang hadir dalam sidang seperti itu sangat terbatas dan selektif sekali hanya oleh para menteri. Bila pun ada pendamping harus terlebih dahulu diberitahukan kepada Sekretaris Kabinet. Sumarlin lalu tawar hati, minta kepada Widjojo agar pada sidang kabinet selanjutnya diizinkan untuk tidak ikut mendampingi. Namun Widjojo membesarkan hatinya untuk tetap saja seperti itu ikut hadir dalam sidang-sidang kabinet selanjutnya. Ajakan Widjojo benar. Malah Sumarlin menjadi salah seorang menteri paling dipercaya Pak Harto di bidang ekonomi-keuangan.
Sewaktu menjabat sebagai Deputi Bappenas, Sumarlin sangat intensif bekerja sebagai salah satu anggota Tim Penyempurnaan Bahan GBHN 1973, yang dipimpin oleh Sudharmono selaku Sekretaris Kabinet. Setiap tahun Sumarlin bertugas menyiapkan penyusunan Lampiran Pidato Kenegaraan yang disampaikan oleh Pak Harto setiap tanggal 16 Agustus, di depan sidang DPR, yang merupakan laporan tahunan pelaksanaan Repelita. Sumarlin juga aktif sebagai anggota Tim Penyempurnaan Naskah GBHN 1973 pimpinan Sudharmono, anggota Dewan Pembina Harian Dharma Wanita pimpinan Amir Machmud (Menteri Dalam Negeri), Wakil Ketua Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah tahun 1980 pimpinan Sudharmono, atau yang sehari-hari dikenal sebagai Tim Keppres 10, serta sebagai Wakil Ketua Tim Penghimpun Bahan-Bahan GBHN 1978, 1983, juga pimpinan Sudharmono.