Retno Lestari Priansari Marsudi (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 27 November 1962; umur 51 tahun) adalah Menteri Luar Negeri perempuan pertama Indonesia yang menjabat dari 27 Oktober 2014 dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Sebelumnya dia menjabat sebagai Duta besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda di Den Haag. Retno LP Marsudi tetap jadi Menteri Luar Negeri di Kabinet Indonesia Maju 2019.
Retno Marsudi lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 27 November 1962. Dia menempuh pendidikan menengah atasnya di SMA Negeri 3 Semarang sebelum akhirnya memperoleh gelar S1nya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1985. Setelah lulus, ia bergabung dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia. Dari tahun 1997 hingga 2001, Retno menjabat sebagai sekretaris satu bidang ekonomi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda. Pada tahun 2001, ia ditunjuk sebagai Direktur Eropa dan Amerika. Retno dipromosikan menjadi Direktur Eropa Barat pada tahun 2003. Ia lalu memperoleh gelar S2 Hukum Uni Eropa di Haagse Hogeschool, Belanda.
Pada tahun 2005, ia diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia. Selama masa tugasnya, ia memperoleh penghargaan Order of Merit dari Raja Norwegia pada Desember 2011, menjadikannya orang Indonesia pertama yang memperoleh penghargaan tersebut. Selain itu, ia juga sempat mendalami studi hak asasi manusia di Universitas Oslo. Sebelum masa baktinya selesai, Retno dikirim kembali ke Jakarta untuk menjadi Direktur Jenderal Eropa dan Amerika, yang bertanggung jawab mengawasi hubungan Indonesia dengan 82 negara di Eropa dan Amerika.
Retno kemudian dikirim sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda pada tahun 2012. Ia juga pernah memimpin berbagai negosiasi multilateral dan konsultasi bilateral dengan Uni Eropa, ASEM (Asia-Europe Meeting) dan FEALAC (Forum for East Asia-Latin America Cooperation). Retno menikah dengan Agus Marsudi, seorang arsitek, dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Dyota Marsudi dan Bagas Marsudi.
Presiden Joko Widodo hari ini mengumumkan susunan menteri yang beliau sebut Kabinet Kerja untuk masa jabatan 2014-2019. Retno Lestari Priansari Marsudi terpilih menjadi menteri luar negeri. Sebagai menteri luar negeri ke-18, perempuan kelahiran Semarang, 27 November 1962 itu sebelumnya menjabat sebagai duta besar untuk Kerajaan Belanda. Dia juga merupakan perempuan Indonesia pertama yang menjadi duta besar Kerajaan Belanda ketika terpilih pada 21 Desember 2012.
Sebagai sosok menteri luar negeri, Retno kaya pengalaman internasional karena sebelumnya dia juga menjabat sebagai direktur jenderal Amerika dan Eropa di Kementerian Luar Negeri sejak April 2008 hingga Januari 2012. Dengan tugasnya itu dia mengelola hubungan Indonesia dengan 87 negara di Eropa dan Amerika. Retno Marsidi meraih gelar S-2 di Haagsche Hooge School Jurusan Hukum EU, Den Haag. Pada 2005 hingga 2008 dia menjadi duta besar untuk Kerjaaan Norwegia dan Republik Islandia.
Istri dari arsitek Agus Marsudi itu juga pernah mendapat penghargaan Bintang Jasa "Grand Officer" dari Raja Norwegia. Dia adalah orang Indonesia pertama meraih kehormatan tinggi itu. Ibu dari Dyota Marsudi dan Bagas Marsudi itu juga pernah menduduki berbagai jabatan penting di Kemlu RI, termasuk sebagai Direktur Eropa Barat (2003-2005) dan Direktur Kerjasama Intra Kawasan Amerika-Eropa (2001-2003). Sejak Republik Indonesia berdiri 69 tahun lalu, pejabat di garda depan diplomasi didominasi tokoh laki-laki. Diawali oleh Mr Achmad Soebarjo, Sutan Sjahrir, hingga generasi penerusnya seperti Hassan Wirajuda dan Marty Natalegawa.
Retno adalah contoh nyata hasil kebijakan pengarusutamaan gender di tubuh pemerintah. Dia bergabung dengan Kementerian Luar Negeri (dulu masih bernama Departemen Luar Negeri) pada 1980, alias setahun sebelum lulus di jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Merujuk wawancaranya dikutip dari situs alumni Fisipol UGM, Retno menampik anggapan klise bahwa berkarir sebagai diplomat membuat perempuan mengabaikan rumah tangga. Kedua putranya juga mendukung karirnya yang kerap mengharuskan Retno bepergian. "Walaupun saya akui, ketika profesi ini dipegang seorang wanita, ada tantangan tersendiri. Apalagi bila sudah berkeluarga. Tapi saya sangat menikmati profesi ini," ujarnya. Retno dikenal sangat menguasai isu-isu ekonomi dan kerja sama lingkungan. Jaringannya dengan negara-negara Barat juga amat luas.
Mengawali kariernya, Retno berangkat ke Australia. Tugasnya berat, lantaran Indonesia pada 1992 dipojokkan atas pembantaian warga Timor Leste di Santa Cruz, Dili. Pada 1997, Retno menjadi Sekretaris Satu Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, Belanda. Di negara inilah, karirnya menanjak paling pesat, hingga dia dipercaya menjadi Kepala Bidang Ekonomi. Negara di Benua Biru lain yang sempat dia singgahi untuk melaksanakan tugas diplomatik adalah Norwegia. Studi lanjut bidang HAM juga didalami Retno di Ibu Kota Oslo. Karirnya sempat mencapai puncak eselon, sebagai Direktur Jenderal Amerika Eropa pada 2008 hingga 2012. Sebagai dubes, dia fokus meningkatkan hubungan dagang Indonesia-Belanda yang hanya mencapai USD 5 juta per tahun. Sosoknya juga populer di kalangan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Negeri Kincir Angin.
Dari rekam jejak itu, dapat diduga Retno dipilih karena Presiden Jokowi ingin diplomat memperkuat fungsi kerja sama ekonomi. Para dubes dan jajarannya diminta fokus mencari peluang pasar ekspor baru di mancanegara. "Ke depan dubes kita harus diproduktifkan, mereka tidak saja ahli di bidang politik tetapi juga memasarkan produk Indonesia," kata Jokowi saat kampanye pemilihan presiden pada 21 Juni lalu. Adapun sampai sekarang belum diketahui rekam jejak Retno untuk negosiasi batas laut. Indonesia masih punya persoalan pembahasan batas landas kontinen dengan beberapa negara tetangga. Perundingan batas wilayah dengan Malaysia, misalnya, juga belum selesai sampai sekarang. Padahal visi-misi Presiden Jokowi salah satunya membawa Indonesia menjadi poros maritim dunia. Isu perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), juga tidak cukup banyak diemban Retno selama berkarir sebagai diplomat.
Di luar itu, Retno pernah membuat esai di Harian Jakarta Post pada 2005. Intinya, publik jangan heran bila pejabat di Kemlu akan semakin banyak diisi perempuan. Pada 2004 dari 98 diplomat baru, 47 adalah perempuan. Pada 2013, angkatan Sekdilu 38, diplomat wanita berjumlah 36 dari 70 CPNS yang diterima. Rasionya meningkat. "Ini indikasi adanya peningkatan kualitas diplomat perempuan dan kesuksesan pengarusutamaan gender di kementerian luar negeri," tulis Retno.