Biografi Gusti Kanjeng Ratu Pembayun Yogyakarta

Foto Gusti Kanjeng Ratu Pembayun Puteri Keraton YogyakartaGusti Kanjeng Ratu Pembayun (lahir di Bogor, 24 Februari 1972; umur 43 tahun) adalah putri pertama dari pasangan Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ratu Pembayun dibesarkan di Yogyakarta hingga usia SMA. Dia sekolah di SMA BOPKRI 1 Yogyakarta sebelum akhirnya pindah sekolah ke Singapore di International School of Singapore. Setelah Lulus SMA, dia melanjutkan pendidikanya di beberapa college di California sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Griffith University Brisbane, Queensland, Australia. Putri Sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X mendapat nama dan gelar baru dari sultan, yaitu sebagai Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama dan gelar baru tersebut disampaikan dalam Sabda Raja kedua di Sitihinggil, Kraton Yogyakarta, Selasa (5/5/2015).

Nama lengkap : Gusti Kanjeng Ratu Pembayun atau Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi
Lahir : 24 Februari 1972 (umur 43) Bogor, Indonesia
Nama lahir : Gusti Raden Ajeng Nurmalita Sari
Wangsa Hamengkubuwono
Ayah : Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Ibu : Ratu Hemas
Pasangan : Pangeran Wironegoro
Anak : Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari dan Raden Mas Drasthya Wironegoro

Ratu Pembayun menikah dengan Pangeran Wironegoro pada tanggal 28 Mei 2002. Berhubung dia adalah putri tertua, maka pernikahan tersebut mendapat banyak perhatian dari publik. Pernikahan ini juga menjadi acuan bagi pernikahan-pernikahan adik-adiknya. Sebelum menikah, sesuai dengan adat keraton, calon pengantin wanita menerima gelar dan nama baru dari sebelumnya Gusti Raden Ajeng Nurmalitasari menjadi Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Pemberian gelar ini dilangsungkan melalui upacara wisuda yang digelar di keraton Yogyakarta. Sementara itu calon pengantin pria mendapat gelar Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro. Pada saat yang bersamaan, Ratu Pembayun juga diangkat sebagai pemimpin kegiatan keputren dan seluruh putri keturunan Sultan Hamengkubuwono X.

Rentetan acara pernikahan diawali dengan prosesi "Nyantri",[2] dimana calon pengantin pria Nieko Messa Yudha yang sebelumnya telah diberi gelar Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro mulai masuk ke Keraton pada tanggal 27 Mei 2002. Sesuai dengan adat yang berlaku di Keraton, Sri Sultan Sendiri yang menikahkan puterinya dengan KPH Wironegoro. Prosesi "panggih" pernikahan dihadiri oleh pejabat tinggi negara, termasuk Presiden Megawati Soekarnoputri serta Duta-duta besar perwakilan negara-negara sahabat.

Sebagai Putri Raja, Ratu Pembayun melewati prosesi "pondongan" dalam prosesi panggih dimana mempelai pria dibantu salah seorang paman dari mempelai wanita GBPH Yudhaningrat memondong (mengangkat) mempelai wanita sebagai simbol "meninggikan" posisi seorang istri. Beberapa berita melaporkan bahwa prosesi panggih ini diliputi oleh suasana "magis" berkaitan dengan angin kencang yang bertiup di dalam tembok keraton serta petir yang menggelegar di siang hari bolong.

Usai panggih, kedua mempelai kemudian dikenalkan kepada masyarakat melalui prosesi "kirab". Sebagai putri pertama, Ratu Pembayun harus dikirab keliling benteng Keraton, menggunakan kereta pusaka Kanjeng Kyai Jongwiyat, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. Prosesi Kirab yang sudah tidak pernah dilaksanakan lagi sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII ini dihadiri oleh ratusan ribu warga yogyakarta. Pernikahan agung Keraton Yogyakarta ini mengikuti tradisi yang dipertahankan sejak ratusan tahun dan diteruskan hingga adik-adik dari Ratu Pembayun yaitu Ratu Maduretno, Ratu Hayu dan Ratu Bendoro

Pernikahan Ratu Pembayun dan Pangeran Wironegoro dikaruniai dua orang anak: 1) Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari Wironegoro dan 2) Raden Mas Drasthya Wironegoro. Putri pertamanya "Artie" sudah cukup dewasa untuk menjalani upacara adat "tetesan" pada tanggal 22 Desember 2013. Upacara ini menandai bahwa seorang anak perempuan sudah menginjak dewasa. Sebagai Putri tertua dan Lurah Putri di lingkungan Kraton, Ratu Pembayun bertugas mengharmoniskan hubungan dengan adik-adiknya dan keluarga besar Keraton pada umumnya. Jabatanya sebagai salah satu Penghageng juga menuntutnya untuk memimpin beberapa upacara adat di lingkungan Keraton seperti "Tumpak Wajik", "Persi Burak" juga beberapa upacara adat yang menjadi rangkaian prosesi pernikahan adik-adiknya Ratu Hayu dan Ratu Bendara.

Menurutnya keraton sebagai pusat kebudayaan harus menjadi saringan dari pengaruh modernisasi yang tidak sesuai dengan budaya kita. Pada saat yang sama Keraton juga harus membuka diri dengan kemajuan zaman. Saat ditanya mengenai suksesi di lingkungan keraton, dia menjawab "tergantung Bapak Saja". Salah satu bentuk dari usaha melestarikan budaya terwujud dalam keaktivan Ratu Pembayun dalam olah tari. Dia adalah penari keraton andalan bersama adik-adiknya Ratu Condrokirono dan Ratu Bendoro.