Ratna Sarumpaet yang lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, 16 Juli 1949; umur 66 tahun adalah seniman Indonesia yang banyak mengeluti dunia panggung teater, selain sebagai aktivis organisasi sosial dengan mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Centre. Ratna terkenal dengan pementasan monolog Marsinah Menggugat, yang banyak dicekal di sejumlah daerah pada era administrasi Orde baru. Ratna Sarumpaet dibesarkan di keluarga Batak Kristen yang aktif dalam politik. Dia adalah anak ke lima dari 9 bersaudara - 7 perempuan dan 2 laki-laki. Dia menjadi Islam setelah menikah dengan seorang pengusaha Arab-Indonesia, Achmad Fahmy Alhady. Dari pernikahannya dia melahirkan 4 anak, Mohammad Iqbal Alhady, Fathom Saulina, Ibrahim Alhady dan Atiqah Hasiholan serta dikaruniai 5 cucu laki-laki dari dua anaknya yang sudah menikah.
Sempat menempuh kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Hukum UKI, Ratna memilih kesenian sebagai alat perjuangannya. Keberpihakannya pada orang-orang kecil dan marginal menjadi tema setiap karya yang dilahirkannya yang mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan pemerintah. Dalam lima belas tahun terakhir, di tengah kesibukannya sebagai aktivis HAM dan kemanusiaan, Ratna telah menghasilkan sembilan naskah drama, yang membuatnya dikenal dalam bidangnya. Seluruh naskah itu ditulis untuk memprotes adanya tindak ketidakadilan dalam pemerintahan yang cenderung menindas kaum kecil dan kelompok minoritas. Semua naskah diatas disutradarainya sendiri dan diproduksi / dipentaskan kelompok drama Satu Merah Panggung, yang didirikannya 1974.
Di era 90-an Ratna dikenal karena terlibat sebagai aktivis dalam kasus Marsinah dan membela penderitaan rakyat Aceh yang terjebak dalam perang antara TNI dan GAM. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah antara dia dengan administrasi Orde Baru kala itu. Pada kampanye Pemilu 1997 menjelang jatuhnya administrasi Orde Baru, ia bersama kelompok teaternya bergabung dengan kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia sempat dikurung ketat oleh kepolisian di sepanjang jalan Warung Buncit, dimana Ratna dan kawan-kawan mengusung sebuah keranda bertuliskan “DEMOKRASI”. Karena hal ini Ratna dan kawan-kawannya sempat ditangkap dan diinterogasi selama 24 jam.
Pada September 1997 Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan alasan bahwa DNA Marsinah dalam penyelidikan telah terkontaminasi. Setelah penutupan kasus ini, Ratna menulis monolog "Marsinah Menggugat" dan mengusungnya dalam sebuah tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera. Monolog ini dianggap sebagai karya provokatif, di setiap kota yang mereka datangi, Ratna dan timnya terus mendapat tekanan ketat dari pihak aparat pemerintahan kala itu. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh pasukan anti huru-hara.
Dengan tingginya kontroversi Marsinah Menggugat, Ratna berhasil membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat. Sebaliknya, sejak itu rumah Ratna di Kampung Melayu Kecil sekaligus menjadi sanggar Satu Merah Panggung terus diawasi intel. Setelah selama 2 tahun melakukan penelitian dan menulis, 10 Desember 2010 - di Tugu Perdamaian kota Ambon, bertepatan dengan hari HAM sedunia, Ratna meluncurkan Novel "Maluku Kobaran Cintaku" sebuah novel fiksi dengan latar belakang kerusuhan antar agama yang pernah melanda Maluku tahun 1999 – 2004. Novel itu hari-hari ini sedang disiapkan untuk dituangkan ke film layar lebar.