
Pemuda itu juga mengaku mengikuti kompetisi riset teknologi kedirgantaraan bergengsi di Jerman pada Juni 2017, yang diikuti oleh ESA (Eropa), NASA (AS), DLR (Jerman), ESTEC (Belanda), JAXA (Jepang), UKSA (Inggris), CSA (Kanada), KARI (Korea), AEB (Brazil), INTA (Spanyol), dan negara-negara maju lain. Dan ia mengaku berhasil memenangi kompetisi itu. Dwi mengklaim berhasil 'menyikut' seluruh lawan dan sukses duduk di puncak podium tertinggi dalam bidang bidang kategori riset Spacecraft Technology. Ia memenangi kompetisi itu dengan mengusung riset yang berjudul "Lethal weapon in the sky" atau senjata yang mematikan di angkasa. Dwi juga mengaku, dari hasil riset tersebut, beberapa teknologi utama sudah berhasil ia patenkan bersama timnya.
Berita itu memuat segudang prestasi yang dicapai Dwi, seperti telah memenangi kompetisi antar space agency di Jerman, memenangi hadiah 15.000 euro, membuat riset dan teknologi 'Lethal weapon in the sky', tengah mengembangkan pesawat tempur generasi ke-6, dan sedang membantu memutakhirkan pesawat tempur varian EuroTyphoon. Pada akhirnya, dalam surat tersebut, pria yang sempat digadang-gadang sebagai 'the next Habibie' itu mengatakan, "Saya mengakui itu adalah kebohongan semata." "Teknologi 'Lethal weapon in the sky' dan klaim paten beberapa teknologi adalah tidak benar dan tidak pernah ada," lanjutnya.
Dalam surat itu, Dwi juga menjelaskan, proyeknya dalam mengembangkan pesawat tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG juga tidak benar. Ia bahkan memohon maaf karena telah mengaku sebagai lulusan S3 TU-Delft bidang kedirgantaraan. Dwi mengklarifikasi, saat ini dirinya masih berstatus mahasiswa doktoral yang tengah menyelesaikan studi S3 di grup riset Interactive Intelligence, Dept. of Intelligent Systems, pada Fakultas yang sama di TU Delft. Hingga berita ini rilis, masih ditelusuri berbagai informasi dan melakukan klarifikasi mengenai skandal Dwi Hartanto tersebut.