Baiq Nuril Maknun adalah mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) jadi perbincangan usai dinyatakan bersalah dan dihukum enam bulan penjara serta denda Rp500 juta dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Baiq Nuril pun merasa diperlakukan tidak adil lantaran dirinya adalah korban kasus perbuatan yang dilakukan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram.
Saat itu, Baiq masih berstatus sebagai Pegawai Honorer di SMAN 7 Mataram. Satu ketika dia ditelepon oleh M. Perbincangan antara M dan Baiq berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dari 20 menit perbincangan itu, hanya sekitar 5 menitnya yang membicarakan soal pekerjaan. Sisanya, M malah bercerita soal pengalaman pribadinya bersama dengan wanita yang bukan istrinya. Perbincangan itu pun terus berlanjut dan M menelepon Baiq lebih dari sekali. Baiq pun merasa terganggu oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.
Merasa jengah dengan semua itu, Baiq berinisiatif merekam perbincangannya dengan M. Hal itu dilakukannya guna membuktikan dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu, Baiq tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam. Hanya saja, ia bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja Baiq, soal rekaman itu. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram. Diketahui, penyerahan rekaman percakapnnya dengan M Baiq itu hanya dilakukan dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam.
Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak orang, M pun melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal rekaman tersebut disebarkan oleh Imam, namun malah Baiq yang dilaporkan oleh M. Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota. Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Baiq bersalah.
Ia kemudian dihukum enam bulan penjara dan dipidana denda senilai Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Putusan ini menuai kritik dan jadi bahan perbincangan. Dalam rilis resminya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut hakim seharusnya berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pasal 3 huruf b Perma tersebut menyebutkan hakim mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum.
ICJR juga menyoroti pemahaman hakim MA terhadap UU ITE. Menurut ICJR Baiq tidak dapat dijatuhi hukuman lantaran putusan PN Mataram menyatakan bahwa Baiq tak melanggar ketentuan pidana. Berdasarkan fakta persidangan Baiq tidak pernah menyebarkan rekaman tersebut. Menurut ICJR, Pasal 27 ayat (1) UU ITE itu dalam penjelasannya didesain untuk penyebaran dalam sistem elektronik dan harus dikaitkan dengan pasal kesusilaan dalam KUHP. Perbuatan yang dilarang adalah penyebaran konten bermuatan pelanggaran asusila yang diniatkan untuk menyebarkannya di muka umum. Saat ini, Baiq hanya bisa berharap hukumannya dapat diringankan dan dirinya tidak ditahan.