Mahatmanto (lahir di Adikarta, Yogyakarta, Indonesia, 11 Agustus 1924; umur 94 tahun) adalah seorang pengarang sastra Indonesia modern. Mahatmanto memiliki nama lengkap Bandoro Raden Bagus Tuwan Saiyid Sulaiman Suradal Adil Arif Agung Adikartono Abu Calis Mahatmanto Murbaningrat al Ahlabi. Ia lahir sebagai anak priyayi dari ayah bernama Bandoro Kiai Raden Abdumanan, yang merupakan seorang sufi yang berguru pada Saiyid Bahaudin dari Suriah yang ada di Singapura pada tahun 1810 sehingga ia mempunyai 5 orang ibu tiri. Saudara kandung Mahatmanto ada 3 orang, sedangkan saudara tiri ada 5 orang. Meskipun memiliki banyak ibu tiri, mereka saling menghormati dan saling menyayangi.
Mahatmanto dilahirkan di lingkungan yang memegang kuat budaya Jawa. Namun, ia mendalami ilmu agama Islam dengan sungguh-sungguh. Ia berguru dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain. Sampai sekarang, tidak diketahui dengan pasti apakah Mahatmanto masih hidup atau sudah meninggal. Jika sekarang masih hidup, tentu sudah berusia 85 tahun. Karya-karya Mahatmanto yang terakhir dibuat terdapat dalam majalah Budaya Jaya 1972. Setelah itu, ia tidak lagi muncul di majalah-majalah dengan sajak-sajak dan esai-esainya. Tidak diketahui kapan ia menikah dan di mana ia bertempat tinggal. Informasi terakhir dari Budaya Jaya, Mahatmanto beserta keluarganya tinggal di Bandung, Jawa Barat.
Latar Belakang Kesasteraan
Sejak kecil, Mahatmanto tidak pernah belajar ilmu kesusasteraan secara formal. Ia belajar sastra secara otodidak melalui perpustakaan yang ada di pondok pesantren. Kadang-kadang beberapa temannya meminjami buku-buku sastra, baik karya sastra Indonesia maupun karya sastra dunia. Melalui beberapa bacaan tentang sastra itulah, bakat Mahatmanto tumbuh dan berkembang menjadi seorang penyair. Sampai sekarang Mahatmanto belum membukukan karya-karyanya. Beberapa karyanya yang sudah terbit di majalah dan surat kabar ia kumpulkan dan ia tawarkan pada penerbit Balai Pustaka pada tahun 1950. Akan tetapi, kumpulan puisi-puisi hasil karya Mahatmanto yang diberi judul Gandewa ditolak oleh Balai Pustaka. Banyak tulisan tangan dan surat-suratnya yang tersimpan dalam dokumentasi HB Jassin.