Gadis Papua ini terpilih menjadi finalis dan masuk dalam sepuluh besar gelaran Putri Indonesia 2014. Ia adalah Maria Fransisca Tambingon. Pada 29 Januari 2014, bersama sembilan finalis lainnya, ia tampil dalam Malam Grand Final Putri Indonesia 2014, di Jakarta Convention Center. Gadis kelahiran Biak, Papua, 11 Oktober 1995 ini menanggapi pencapaian yang menjadi intensinya dengan penuh syukur. Putri pasangan Albert Joppy Tambingon dan Maria Magdalena Barge ini mengungkapkan bahwa keberhasilannya merupakan anugerah Tuhan. “Berhasil menjadi seperti sekarang ini bukan karena kekuatan dan kelebihan yang ada pada saya. Semua ini berasal dari Tuhan.
Maria Fransisca Tambingon kelahiran 26 Juni 1987 ini menganggapnya sebagai salah satu yang terbaik diantara 37 finalis lainnya. "Dia sangat confident," ujarnya singkat saat ditemui di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Rabu malam (29/1). Whulandary menganggap bahwa Maria memiliki keistimewaan tersendiri, khususnya terkait warna kulit. "It's time to give her a chance," ujarnya. Wakil Papua berhasil mencetak prestasi dengan masuk sebagai finalis 10 besar. Maria berhasil menjawab pertanyaan juri seputar usaha yang akan dilakukan bagi bangsa Indonesia jika terpilih menjadi seorang pemimpin yakni dengan mengubah sektor pendidikan yang ada. Meskipun tak keluar sebagai pemenang, Whulandary tetap mengaku senang atas hasil yang telah ditetapkan para juri. "Pasti juri punya kriteria tersendiri," imbuhnya.
Cita cita awal Maria Fransisca Tambingon ingin menjadi pramugari. Tapi setelah mendengar isu yang kurang menarik akhirnya Maria mencoba ikutan pemilihan Putri Indonesia 2014. Dia tampil di ajang pencarian bakat itu untuk mewakili daerah Papua Timur. “Awalnya saya ingin jadi pramugari pesawat terbang. Tapi setelah banyak mendengar tentang pramugari yang isunya kurang berkenan di hati, akhirnya saya mencoba mendaftarkan diri untuk menjadi peserta Putri Indonesia. Saya senang bisa mewakili dari Papua Timur. Di ajang ini pula, saya banyak mendapat pengalaman berharga,” tutur perempuan kelahiran Biak 11 Oktober 1995.
Fransisca bertekad bisa meraih penghargaan tertinggi. Dia kini sudah masuk di tingkat nasioanl. Walau begitu, Mahasiswi semester 2 jurusan Teknik Planologi Universitas Cendrawasih, Jayapura Papua ini tetap lapang dada andaikan tidak terpilih. Dia mengakui harus banyak belajar lagi, termasuk kepada Wulandhari Herman pemenang tahun sebelumnya. Fransisca pun punya tekad dan niat yang lebih mulia. Di antaranya ingin melestarikan budaya Papua. “Siapa lagi kalau bukan kita yang melestarikan budaya sendiri. Papua itu kaya akan budaya, dan baru sebagian saya dikenal banyak orang. Untuk itu, saya bertekad ingin mengenalkan budaya Papua hingga ke masyarakat internasional,” ujarnya.