Arsilan adalah salah satu staf rumah tangga Presiden Soekarno dan salah satu saksi pelaku yang berkontribusi pada peristiwa pembacaan teks proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Arsilan muda pria keturunan Banten ini sudah turut berkontribusi dalam upaya kaum Republiken mencapai kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1940-an. Keluarganya merupakan staf rumah tangga tokoh pergerakan nasional Sukarno yang kemudian menjadi Presiden Pertama Republik. Akrab di lingkaran keluarga Sukarno, pada tahun 1945 pun akhirnya ia menjadi staf keluarga Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat. Kewajibannya adalah menjaga dan memelihara kebun serta pekarangan rumah yang kemudian menjadi saksi dibacakannya teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, jam 10.00 WIB.
Arsilan mengaku ingatannya masih kuat. Ia bahkan masih bisa menyanyikan lagu berbahasa Jepang berjudul Miyoto sembari jalan ditempat, yang ia pelajari dari tentara Jepang saat ia bergabung di satuan Heiho pada tahun 1943 lalu. Namun ia bersikeras umurnya 92 tahun, walau pun ia mengakui ia kelahiran tahun 1925. Arsilan tinggal di sebuah bangunan kayu yang berdiri di atas trotoar jalan Bonang. Kediamannya itu berada di sisi luar tembok sebelah Timur Taman Proklamasi di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Di sisi jalan tersebut selain kediamannya, juga terdapat belasan bangunan kayu lain yang dipergunakan para pedagang makanan.
Gubuk Arsilan berukuran sekitar 4 X 3,5 meter yang ia akui bangun sendiri. Gubuknya agak tersamar karena berada di bagian belakang kios rokok, yang terlihat dari sisi jalan hanyalah pintu masuknya saja. Sementara di dalam gubuk tersebut terdapat beberapa buah kasur bekas yang ditumpuk sembarangan, berikut sejumlah bantal yang sudah usang. Kamar tersebut lembab, penuh debu dan minim penerangan, dan baunya pun khas. Beberapa kali kediamannya itu digusur oleh pemerintah daerah. Kata dia, terakhir kali bangunan itu digusur karena ada pejabat yang hendak melakukan inspeksi, setelahnya ia pun kembali mendirikan kembali kediamannya itu.
Hingga tahun 2003, Arsilan bekerja di kediaman keluarga Bung Karno di kawasan Menteng. Pekerjaannya terakhir adalah sebagai petugas keamanan, dengan gaji Rp 400 ribu per bulan. Setelahnya ia dan istrinya pun mencoba berdagang Surabi di Jalan Bonang. Setelah istrinya meninggal dan empat orang anaknya sudah mapan di perantauan, usaha Surabi itu pun berhenti. Laki-laki berdarah Banten itu kini hidup dari tunjangan pemerintah sebesar Rp 1 juta per bulan, karena ia pernah berperang melawan penjajah di Serpong, Banten, pada tahun 1940-an, dan kini berstatus anggota satuan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI). Selain itu untuk menambah penghasilannya ia sehari-hari bekerja mengumpulkan gelas plastik air mineral.