AG. H. Ali Yafie (lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926; umur 92 tahun) adalah ulama fiqh dan mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia.[butuh rujukan] Ia adalah tokoh Nahdlatul Ulama, dan pernah menjabat sebagai pejabat sementara Rais Aam (1991-1992). Saat ini, ia masih aktif sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang didirikannya tahun 1947, serta sebagai anggota dewan penasehat untuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Ali Yafie memperoleh pendidikan pertamanya pada sekolah dasar umum, yang dilanjutkan dengan pendidikan di Madrasah As'adiyah yang terkenal di Sengkang, Sulawesi Selatan.[butuh rujukan] Spesialisasinya adalah pada ilmu fiqh dan dikenal luas sebagai seorang ahli dalam bidang ini.[butuh rujukan] Ia mengabdikan diri sebagai hakim di Pengadilan Agama Ujung Pandang sejak 1959 sampai 1962, kemudian inspektorat Pengadilan Agama Indonesia Timur (1962-1965).
Sejak 1965 hingga 1971, ia menjadi dekan di fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang, dan aktif di NU tingkat provinsi.[butuh rujukan] Ia mulai aktif di tingkat nasional pada 1971.[butuh rujukan] Pada muktamar NU 1971 di Surabaya ia terpilih menjadi Rais Syuriyah, dan setelah pemilu diangkat menjadi anggota DPR. Kemudian ia tetap menjadi anggota DPR sampai 1987, ketika Djaelani Naro, tidak lagi memasukkannya dalam daftar calon. Sejak itu, Ali Yafie mengajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Jakarta, dan semakin aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada Muktamar NU di Semarang 1979 dan Situbondo 1984, ia terpilih kembali sehagai Rais, dan di Muktamar Krapyak 1989 sebagai wakil Rais Aam. Karena Kiai Achmad Siddiq meninggal dunia pada 1991, maka sebagai Wakil Rais Aam ia kemudian bertindak menjalankan tugas, tanggung jawab, hak dan wewenang sebagai pejabat sementara Rais Aam.[butuh rujukan] Setelah terlibat konflik dengan Abdurrahman Wahid mengenai penerimaan bantuan dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial untuk NU, Ali Yafie menarik diri dari PBNU.