Dr. Gugum Gumbira Tirasondjaja (sering dikenal sebagai Gugum Gumbira lahir di Bandung, 4 April 1945; umur 74 tahun) adalah komposer Sunda, pemimpin orkestra, koreografer, dan pengusaha dari Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Gugum Gumbira menikah dengan Euis Komariah, yang bernyanyi Orkestra Jugala. Putri mereka, Mira Tejaningrum (lahir 4 Maret 1969), adalah penari dan koreografer untuk kelompok tari Jugala. Studio Jugala Gugum Gumbira di Bandung berfungsi sebagai dasar untuk orkestra Jugala itu sendiri dan kelompok tari, telah menciptakan dan merekam beberapa musisi lainnya, termasuk Sabah Habas Mustapha dan The Residents. Orkestra Jugala termasuk instrumen gamelan Sunda, drum, rebab dan suling, memainkan jaipongan dan musik degung kontemporer.
Kabar duka menyelimuti dunia seni Tanah Air. Maestro Jaipongan Gugum Gumbira, mengembuskan napas terakhirnya pada Sabtu (4/1/2020). Melalui press realease, dikabarkan Gugum Gumbira meninggal pada pukul 01.59 WIB. Sebelum meninggal dunia, Gugum Gumbira didiagnosis rumah sakit memiliki penyakit komplikasi. Ia menderita jantung, Stroke, dan infeksi paru-paru. Gugum Gumbira, sempat tidaksadarkan diri setelah terjatuh pada Selasa (31/12/2019) lalu. Ia pun langsung dilarikan ke IGD Rumah Sakit Santosa. Selama perawatan di Rumah Sakit Santosa, Gugum masuk dalam Cardio Vascular Care Unit (CVCU). Selama dua hari, Gugum mengalami penurunan kesadaran. Bahkan, setelah pindah ruang rawat inap, ia sudah tidak sadarkan diri dan kondisi kesehatan semakin menurun.
Pada tahun 1961, Presiden Indonesia, Sukarno melarang musik rock and roll dan genre barat lainnya dan musisi Indonesia tertantang untuk menghidupkan kembali seni pribumi. Gugum Gumbira pun mengambil tantangan, belajar tari pedesaan dan festival musik selama dua belas tahun. Jaipongan, atau Jaipong, adalah hasil yang paling populer dari studinya yang memperbarui musik ritual desa bernama ketuk tilu dengan gerakan dari Pencak Silat, seni bela diri Indonesia, dan musik dari tarian teater bertopeng, Topeng Banjet, dan teater Wayang Golek. Dalam ketuk tilu asli, kelompok biasanya terdiri dari pot-gong ketuk tilu, gong kecil lainnya, rebab, drum barel, dan seorang perempuan penyanyi-penari (ronggeng) yang sering juga melacur, mengajak laki-laki untuk menari dengannya secara sensual. Gugum memperluas bagian drum sebagai bagian dari gamelan perkotaan, mempercepat musik, mendefinisikan ulang penyanyi hanya sebagai penyanyi (sinden), dan datang dengan nama onomatope yang menarik. Banyak pendengar menganggap bahwa musik ini sangat kompleks dengan irama yang dinamis.
Jaipongan memulai debutnya pada 1974 ketika Pak Gugum beserta gamelan dan penari pertamanya tampil di depan umum. Pemerintah sporadis berupaya untuk menekan ini karena amoralitas yang dirasakan (mewarisi beberapa sensualitas ketuk tilu) yang hanya membuatnya lebih populer. Tarian ini selamat bahkan setelah larangan resmi Indonesia pada musik pop asing selama beberapa tahun, dan menggila pada 1980-an. Pada pertengahan 1980-an, Jaipongan sebagai tarian sosial telah memudar, tapi tetap populer sebagai tari panggung, dilakukan oleh perempuan, pasangan campuran atau sebagai solo. Album Jaipongan yang paling banyak tersedia di luar Indonesia adalah Tonggeret oleh Idjah Hadidjah dan Gugum Gumbira Jugala orkestra, yang dirilis pada tahun 1987 dan kembali dirilis sebagai Jawa Barat: Jaipong Sunda dan Musik Populer lainnya]] oleh Nonesuch / Elektra Records.