Muhammad Abduh (bahasa Arab: محمد عبده; lahir di Delta Nil (kini wilayah Mesir), 1849 – meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), 11 Juli 1905 pada umur 55/56 tahun) adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamaluddin al-Afghani, seorang filsuf dan pembaru yang mengusung gerakan Pan Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun sejak 1882, karena keterlibatannya dalam Pemberontakan Urabi. Di Lebanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersalam al-Afghani menerbitkan jurnal Islam The Firmest Bond. Salah satu karya Abduh yang terkenal adalah buku berjudul Risalah at-Tawhid yang diterbitkan pada tahun 1897. Pemikirannya banyak terinspirasi dari Ibnu Taimiyah, dan pemikirannya banyak menginspirasi organisasi Islam, salah satunya Muhammadiyah, karena ia berpendapat, Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu sains.
Awal abad 19 dunia Islam tercabik-cabik oleh para penjajah. Mesir, Sudan, Pakistan dan Bangladesh (India), Malaysia, serta Brunei diduduki Inggris. Aljazair, Tunisia, dan Maroko dijajah Perancis. Italia mendapat bagian Libia. Sedangkan Indonesia jadi jajahan Belanda. Pada waktu yang sama Kekhalifahan Turki Usmani yang menjadi symbol 'kebesaran' Islam telah “sakit”. Daerah kekuasaannya dikapling bangsa Eropa. Untuk menyelamatkan Turki, Mustafa Kamal Attaturk 1923 mengubah sistem pemerintahan kesultanan menjadi republik sekuler. Sejak itu sistem kekhalifahan berakhir. Pada masa itu merupakan kemunduran dunia Islam yang sebenarnya sudah dimulai sekitar enam abad sebelumnya, sejak jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia dan Kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad oleh Mongol dan pemikiran Islam mengalami kemandegan. Pada abad ke-19 kondisi mencair dengan munculnya para pemikir Islam yang coba mengelaborasi pemahaman keagamaan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Nama-nama seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad bin Abdul Wahab, Sheikh Muhammad Rasyid Ridha dan Sheikh Muhammad Abduh, jadi pelopor kebekuan pemikiran keislaman. Kiprah Muhammad Abduh dinilai tidak saja telah membangkitkan gerakan revolusioner melalui pemikirannya, tapi sekaligus menjadi cikal bakal dari munculnya faham 'Kiri Islam' dan 'Kanan Islam' melalui muridnya. Gerakan revolusioner membuat takut pemerintah kolonial. Munculnya gerakan perlawanan umat Islam terhadap penjajah Eropa juga dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh bin Hassan Khair Allah yang lahir di Desa Mahallat Nashr, Gharbiyah, Mesir pada 1265 H /1849 M. Ia mengenal agama pertama kali dari dari orangtuanya. Dalam usia belasan tahun ia sudah hafal Al-Qur'an dan menguasai isinya dengan baik. Abduh melanjutkan pendidikan formalnya di Thanta, sebuah lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad, milik Al-Azhar.
Gurunya Sheikh Darwisy dengan tekun membimbing, mengajari dan mengarahkannya pada kehidupan sufi. Tahun 1871 Abduh bertemu dengan Sayyid Jamaluddin Al-Afghani. Pertemuan ini mempunyai arti penting bagi perjalanan hidup Abduh selanjutnya. Pada Jamaluddin ia belajar filsafat, ilmu kalam, ilmu pasti dan ilmu pengetahuan lain yang juga diperoleh di Al-Azhar. Metode diskusi yang diterapkan Jamaluddin menarik minat Abduh. Sementara itu dalam karirnya Abduh pernah menjadi dosen di Al-Azhar, Darul Ulum (kini Universitas Kairo) dan perguruan bahasa Khedevi. Ia juga pernah menjadi Mufti Mesir dan menjabat sebagai hakim agung. Di bidang jurnalistik Abduh menjadi salah satu penulis produktif dan pernah menjadi pemimpin redaksi koran Waqa'i Al Mishriyyah, harian milik pemerintah yang mengupas persoalan sosial, politik, agama dan negara. Kiprah panjangnya berakhir 1905 ketika Sang Khalik memanggil selamanya.
Kontribusi pembaruan pemikiran Abduh yang menjadi fokus gerakannya meliputi dua bidang : pembaruan teologi dan hukum. Dua aspek inilah yang dianggapnya sangat vital yang pada masanya dilupakan umat Islam, sehingga benih kemunduran di hampir segala lini kehidupan pun tak bisa dihindari. Pemikiran teologi Abduh didasari oleh tiga hal, yaitu : kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap sunnah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan. Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun demikian, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Seperti ditulis Muhammad Imarah dalam bukunya Al A'maal Al Kaamilah lil Imam Muhammad Abduh, (Cairo), setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh sangat mendasari perbuatan manusia, yakni : (1) Manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya. (2) Kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi.
Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai pengetahuan hakiki tentang iman. Akal dalam sistem teologi Abduh memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal orang dapat mengetahui adanya Tuhan dan sifat-Nya, adanya hidup akhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, kebaikan dan kejahatan, serta kewajiban membuat hukum. Tapi bukan berarti manusia tak membutuhkan wahyu sebagai petunjuk. Menurut Abduh, wahyu tetap dibutuhkan sebab wahyu memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui rinci mengenai kehidupan akhirat dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia hidup damai dalam lingkungan sosialnya. Dengan pemahaman seperti ini, seorang mukmin baru dapat 'mengenali' Tuhan dengan baik yang tercermin melalui tindakan dan kehendak baik manusia. Dalam bukunya, Hasyiyah 'Ala Syarh Dawani lil Aqaid, ia berpendapat, sifat-sifat Tuhan adalah esensi Tuhan itu sendiri.
Dalam aspek hukum pemikiran Abduh tercermin dalam tiga prinsip, yaitu : Al-Qur'an sebagai sumber syariah, memerangi taqlid dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat Al-Qur'an. Abduh membagi syariah menjadi dua yaitu; qath'i (pasti) dan zhanni (tidak pasti). Hukum syariah jenis pertama wajib bagi setiap Muslim mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi karena ia jelas tersebut dalam Al-Qur'an dan Hadits. Sedangkan hukum syariah jenis kedua datang dengan tunjukan nash dan ijma' yang tidak pasti. Jenis hukum kedua ini yang menjadi lapangan ijtihad para mujtahid. Berbeda pendapat menurutnya wajar dan merupakan tabiat manusia. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan. Yang membawa bencana perpecahan menurutnya jika pendapat yang berbeda dijadikan tempat berhukum dengan tunduk pada pendapat tertentu tanpa berani mengritik dan mengajukan pendapat lain.
Sikap yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah dengan kembali pada sumber Al-Qur'an dan Sunnah. Bagi yang berilmu wajib berijtihad, sedang bagi orang awam bertanya kepada yang ahli dalam agama. Ia menyarankan agar para ahli fikih membentuk tim yang bekerja untuk mengadakan penelitian tentang pendapat yang terkuat di antara pendapat yang ada. Kemudian keputusan tim itulah yang dijadikan pegangan umat Islam. Di samping bertugas memfilter, tim ahli fikih juga bertugas mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad ulama maupun madzhab masa lalu. Jadi bermadzhab berarti mencontoh metode ber-istinbath hukum.
Peran Mohammad Abduh telah mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan. Dia seorang mujaddid dan mujtahid yang pada masanya mengalami tentangan internal dan eksternal. Modernisme Abduh tercermin dalam sikap yang apresiatif terhadap filsafat yang wawasan itu ia peroleh gurunya Jamaluddin Al-Afghani, seorang penganjur gigih Pan-Islamisme dan orator politik ulung. Di antara warisan intelektual Abduh adalah Risalah al-Tauhid juga Tafsir Al Manar yang merupakan kumpulan pidato, pikiran dan ceramahnya yang ditulis oleh muridnya, syeikh Mohammad Rasyid Ridha. [republika.co.id]
#Lihat pula : Biografi Tokoh Muhammad bin Abdul Wahhab