Remaja jaman sekarang cukup memprihatinkan ulah dan sikapnya. Masih lekang dari ingatan ketika seorang remaja lelaki mengacungkan jari tengah di depan foto Jenderal Sudirman. Ada lagi kisah pemuda asal Tobasa menendang lambang Garuda. Kini muncul sekelompok pemuda nekat naik ke atas patung pahlawan revolusi demi berfoto. Ulah para pemuda tersebut memancing kecaman para pengguna media sosial, khususnya Facebook. Ulah para pemuda itu dikritik karena dianggap menghina tujuh pahlawan revolusi, yang merupakan bagian dari Monumen Pancasila Sakti.
Dalam beberapa foto yang tersebar di media sosial, sekelompok remaja Indonesia melakukan aksi yang sangat tidak terpuji, bagaimana tidak mereka ' Tak Hormati ' monumen Pancasila yang merupakan lambang negara Republik ini. Tak hanya itu, dalam foto-foto tersebut juga terlihat bagaiman remaja-remaja itu menaiki patung para pahlawan Revolusi seperti: Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto Mayjen TNI M.T. Haryono Mayjen TNI Siswondo Parman Brigjen TNI DI Panjaitan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo. Aksi ini mereka lakukan di Monumen Pancasila yang terletak di Jalan Lubang Buaya No.48, Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta.
Sosiolog asal Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, menilai ulah para pemuda itu sekedar mencari sensasi. Sebab, di era perkembangan teknologi saat ini, media sosial memberikan tempat bagi banyak orang menjadi kaum narsis. Lewat media sosial, seseorang bisa mengungkapkan jati diri dari kehidupan nyata yang kadang ditutupi. Dari pengamatannya, kelakuan mereka hanya buat mencari perhatian banyak orang. Meski pada foto itu tampak tiga remaja berfoto sambil menduduki kepala patung pahlawan, Sunyoto menilai hal itu tidak termasuk dalam kategori penghinaan lambang negara. Jika dilihat dari konteks foto, itu hanyalah foto narsis remaja. Dikatakan menghina lambang negara, jika para remaja ini merupakan bagian dari pakar orang-orang yang ada kaitannya dengan kasus makar politik.
Sunyoto melanjutkan, perilaku itu menjadi cerminan kurangnya rasa nasionalisme rakyat Indonesia, terutama di kalangan remaja. Tak cuma itu, Sunyoto merasa peran pendidikan juga memberikan pengaruh dalam menanamkan rasa nasionalisme. Dalam pandangannya, sekolah dianggap hanya mengajarkan siswa berkompetisi dalam mendapatkan nilai saat ujian. Akibatnya, para siswa hanya fokus mendapatkan nilai tinggi. Seharusnya, tambah dia, sekolah juga mesti mengasah budi pekerti dan kepribadian pelajar, serta penghargaan terhadap prestasi. Sunyoto mengatakan, banyak mata pelajaran tidak diujikan dalam ujian nasional. Untuk itu, dia mempertanyakan apakah pelajaran melukis, menulis, dan yang lainnya tidak juga diujikan.